ABSTRAKPerubahan paling populer setelah revitalisasi sistem pemerintahan daerah adalah berubahnya sistem politik lokal, khususnya dalam pola rekrutmen kepala daerah menjadi pemilihan langsung. Netralitas menjadi hal yang paling sulit untuk dipertahankan oleh birokrat. Pejabat karier dirangkul untuk menjadi mitra (afiliasi) untuk menggalang penyuksesan pemilihannya terutama untuk meraup dukungan suara dari kalangan personil birokrasi (ASN). Afiliasi politik dan intervensi yang dilakukan oleh para pejabat politik terhadap pejabat stuktural dalam birokrasi lokal tersebut tidak semata didasari oleh motif-motif emosional, melainkan juga tidak lepas dari motif-motif untuk membangun dinasti korupsi. Birokrasi diharuskan menjadi area yang secara konsisten berada pada kekuasaan profesionalnya, dan bersih dari kegiatan aktivitas dan politik dengan segala kepentingannya. Karena jika birokrasi tidak bisa bersih atau steriil dari kepentingan politik yang tidak sehat, maka publik akan menjadi pihak yang terabaikan kepentingannya. Dan hal ini sudah pasti tidak sesuai dengan cita-cita reformasi birokrasi. Berbagai implikasi negatif satu per satu mulai menjadi masalah kronik dalam dalam birokrasi lokal setelah perubahan sistem politik. Pemikiran ulang untuk mengupayakan modifikasi dan pemutakhiran tatanan yang ada menjadi sebuah keharusan.