Artikel ini membahas tuntutan akan kesadaran yang lebih jelas tentang hubungan antara gosip dan kekuatan sosial dengan tujuan untuk mendorong perdamaian sosial dan mencirikan praktik aktivisme sosial. Penulis melakukan analisis terhadap praktik keragaman modern yang mencatat kelompok-kelompok yang diabaikan dalam narasi sejarah. Fokus artikel ini adalah pada peran aktivisme yang berfokus pada arsenik dalam memperluas infrastruktur pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia dengan memberikan informasi tentang peran yang dimainkan oleh aktivisme tersebut. Temuan analisis menunjukkan tumbuhnya kapasitas intelektual dari beberapa komunitas seperti Pekerja Seks Komersial, subkultur bissu, dan kelompok Towani Tolotang. Ketiga kelompok ini berhasil memanfaatkan pengetahuan preventif sebagai kearifan kolektif untuk mempromosikan pemahaman pendidikan dan ilmiah, sehingga transformasi dokumentasi yang sebelumnya lembam menjadi sumber daya yang dinamis dan berwibawa. Filosofi pragmatisme aktivis terdiri dari sebelas prinsip inti, termasuk kekuatan sosial, transparansi keuangan, tanggung jawab pribadi, keterlibatan masyarakat, dan pemerintahan terbuka. Dalam konteks penggiat arsip keragaman, penelitian ini dibatasi untuk melihat perilaku-perilaku tersebut saja.